Main Catur



Sebelum melakuakan sesuatu maka wajib seorang muslim untuk berilmu agar setiap perbuatan nya dapat dipertanggungjawabkan disisi Allah azzawajalla, berikut literatur mengenai permainan catur

Keterangan sahabat tentang catur

a. Dari Maisarah an-Nahdi, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah melewati sekelompok orang yang bermain catur, kemudian beliau menyitir ayat:


مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ


“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beri’tikaf (memperhatikan) kepadanya?” (QS. Al-Anbiya: 52)


Keterangan Ali ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 26158.

Dalam riwayat Baihaqi, terdapat pernyataan yang semisal, hanya saja ada tambahan:


لَأَنْ يَمَسَّ أَحَدُكُمْ جَمْرًا حَتَّى يُطْفَأَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّهَا


“Seseorang menyentuh bara api sampai bara itu mati, itu lebih baik baginya dari pada dia menyentuh catur.” (HR. al-Baihaqi dalam Sunan ash-Shughra no. 3348 dan Syuabul Iman, no. 6097)

Imam Ahmad mengatakan:

أصح ما في الشطرنج قول علي رضي الله عنه

Riwayat paling shahih tentang catur adalah keterangan Ali bin Abi Thalib. (asy-Syarhul Kabir Ibn Qudamah, 12:45)

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang hukum catur, beliau menjawab:

هي شَرٌّ من النرد

“Permainan itu lebih buruk dari pada dadu.”

Juga diriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa sahabat Abu Musa al-Asy’ari pernah mengatakan:


لَا يَلْعَبُ بِالشِّطْرَنْجِ إِلَّا خَاطِئٌ


“Tidak ada yang bermain catur, kecuali orang yang berdosa.”


Sementara itu, dari Abu Ubaidillah bin Abu Ja’far, bahwa Abu Said al-Khudri membenci bermain catur.


Ibnu Syihab az-Zuhri juga pernah ditanya tentang bermain catur, kemudian beliau menjawab:


هِيَ مِنَ الْبَاطِلِ وَلَا يُحِبُّ اللهُ الْبَاطِلَ


“Itu termasuk kebatilan dan Allah tidak mencintai kebatilan.”


Semua riwayat sahabat di atas disebutkan oleh al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, no. 6097.


Dari Ibnu Abi Laila, dari al-Hakam, beliau berkomentar tentang permainan catur:


كَانُوا يُنْزِلُونَ النَّاظِرَ إِلَيْهَا كَالنَّاظِرِ إِلَى لَحْمِ الْخِنْزِيرِ، وَالَّذِي يُقَلِّبُهَا كَالَّذِي يُقَلِّبُ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ


“Para sahabat menganggap orang yang melihat papan catur sebagaimana orang yang melihat daging babi. Sementara orang yang menggerakkan pion catur seperti orang yang membolak-balikkan daging babi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no.26160)


Keterangan Ulama


Ibnu Qudamah mengatakan:


وأما الشطرنج فهو كالنرد في التحريم


“Untuk main catur, sama haramnya dengan main dadu.” (al-Mughni, 14:155)

Dalam kumpulan dosa-dosa besar, adz-Dzahabi mengatakan:


وأما الشطرنج فأكثر العلماء على تحريم اللعب بها سواء كان برهن أو بغيره أما بالرهن فهو قمار بلا خلاف وأما إذا خلا عن الرهن فهو أيضا قمار حرام عند أكثر العلماء . . . وسئل النووي رحمه الله عن اللعب بالشطرنج أحرام أم جائز ؟ فأجاب رحمه الله تعالى :


“Tentang permainan catur, mayoritas ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan maupun tanpa taruhan. Jika dengan taruhan maka statusnya judi, tanpa ada perselisihan ulama. Jika tanpa taruhan, itu juga termasuk judi menurut mayoritas ulama.” (al-Kabair, 89)


Disadur dari Fatwa Islam, no. 14095

Para ulama sepakat bahwa permainan catur yang disertai taruhan, yang kalah membayar kepada yang menang berupa materil ataupun immateril hukumnya adalah haram dan termasuk qimar (perjudian).

Ustadz Nur Baits Hafidzullah

========

Para ulama juga sepakat bahwa permainan catur yang melalaikan dari melaksanakan kewajiban terhadap Allah, serta kewajiban terhadap manusia hukumnya juga haram.

Dan para ulama juga sepakat bahwa permainan catur yang pemenangnya mendapatkan hadiah dari panitia penyelenggara hukumnya juga haram, karena tidak termasuk tiga permainan yang diperbolehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mengandung makna ketangkasan jihad [Dr. Sulaiman Al-Mulhim, Al-Qimar; haqiqatuhu wa Akhkamuhu, hal. 254].

Adapun permainan catur yang tidak disertai taruhan, tidak melalaikan pelaksanaan kewajiban dan tidak mendapat hadiah dari pihak manapun, maka hukumnya diperselisihkan oleh para ulama mazhab.


Pendapat pertama: 

Para ulama mazhab maliki dan hanbali mengharamkan permainan catur [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXV, hal. 269].


Yang menjadi dalil pendapat ini:

1. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu saat melewati orang yang sedang bermain catur, ia berkata,


مَا هَذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

“Patung-patung apakah ini yang kalian tekun berdiam dihadapannya?” (HR. Ibnu Abi Syaibah. Atsar ini dinyatakan shahih oleh Imam Ahmad).


Tanggapan:

 Dalil ini tidak kuat menujukkan larangan permainan catur, karena bisa jadi Ali radhiyallahu ‘anhu melarang mereka bermain catur disebabkan bidak permainan catur berupa patung kuda, atau dia melarang karena mereka bermainan terlalu lama, karena Ali mengatakan, “Kalian tekun berdiam di hadapannya.”

Jadi, larangan tersebut bukan karena materi permainannya. Jika bidaknya tidak terdapat salib dan tidak menyerupai patung orang, ataupun hewan, maka main catur boleh [Dr. Sa’ad Asy-Syatsri, Al-Musabaqat wa Ahkamuha fisy Syariah Al Islamiyah, hal. 228].

2. Dalil yang juga mengharamkan permainan catur bahwa permainan ini sama dengan permainan dadu, yaitu dapat melalaikan dari melakukan kewajiban shalat [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXV, hal. 270].

Tanggapan: 

Dalil ini juga tidak kuat, karena terdapat perbedaan antara permainan catur dengan dadu. Permainan dadu asasnya adalah untung-untungan berbeda dengan catur di mana terdapat unsur berpikir dan perhitungan untuk memenangkan sebuah permainan [Dr. Sa’ad Asy-Syatsri, hal. 228].

Pendapat kedua: Para ulama mazhab hanafi dan syafi’i tidak mengharamkan permainan catur.


Para ulama ini berdalil bahwa tidak ada dalil yang melarang permainan catur, maka permainan catur boleh karena berguna untuk mengasah otak dalam strategi perang yang diajarkan dalam permainan catur. Maka dari sisi ini, permainan catur bias diqiyaskan dengan permainan yang melatih keterampilan dalam berjihad.

Wallahu a’lam, pendapat yang membolehkan permainan catur lebih kuat, jika larangan-larangan yang dijelaskan di atas dihindari.

Penulis: Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A.

Disalin dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi Tarmizi, halaman 269-270, Penerbit P.T. Berkat Insan Mulia, Cetakan Kedua April 2012

Dari beberapa uraian tersebut maka sesorang dapat mengambil pelajaran agar setiap permainan yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan disisi Allah azzawajalla dan tidak melalaikan dari tujuan penciptaan ini.

1.  https://pengusahamuslim.com/2993-hukum-bermain-catur-1589.html

2. https://konsultasisyariah.com/13784-hukum-main-catur-haram.html

Read More

Wajib taat sama pemimpin

 



عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ 


Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim Al Handlali] telah mengabarkan kepada kami [Isa bin Yunus] telah menceritakan kepada kami [Al Auza'i] dari [Yazid bin Yazid bin Jabir] dari [Ruzaiq bin Hayyan] dari [Muslim bin Qaradlah] dari ['Auf bin Malik] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: 


"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo'akan kalian dan kalian mendo'akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka." Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?" maka beliau bersabda: "Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka." (HR. Muslim, Ahmad : Aqidah Thahawiyah : 561)



Read More

Mengenal Hizbut Tahrir

 Apa Itu Hizbut Tahrir?


Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah memproklamirkan diri sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial. (Mengenal HT, hlm. 1)

Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan HT bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politik. (Mengenal HT, hlm. 16)

Adapun aktivitas dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan, “Demikian pula, dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.” (Strategi Dakwah HT, hlm. 40—41)

Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia merupakan misi utama para nabi dan rasul. Allah ‘azza wa jalla menegaskan,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala sembahan selain-Nya’.” (an-Nahl: 36)

Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan,

بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang bagus.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul MufradAhmad, dan al-Hakim. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 45)

Tujuan dan Latar Belakang Hizbut Tahrir

Mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktivitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat Mengenal HT, hlm. 2, 54 )

Para pembaca, tahukah Anda, apa yang melandasi HT untuk mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi?

Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini—tanpa kecuali—termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Sebab, dalam kamus HT, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim.

Adapun Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. (Lihat Mengenal HT, hlm. 79)

Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya.

Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq.

Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 18/282)

Para pembaca, mengapa—menurut HT—harus satu khilafah?

Jawabannya, karena seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden), maupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Jadi, merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hlm. 49—55)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.

• Al-’Allamah Ibnul Azraq al-Maliki, Qadhi al-Quds (di masanya) berkata, “Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila memang tidak memungkinkan.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 37)

• Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Para imam dari setiap mazhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hlm. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 34)

• Al-Imam asy-Syaukani berkata, “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di setiap daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karena itu, (dalam kondisi seperti itu, -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing, -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan, -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (as-Sailul Jarrar, 4/512)

• Demikian pula yang dijelaskan al-Imam ash-Shan’ani, sebagaimana dalam Subulus Salam (3/347, cet. Darul Hadits).

Kapan Hizbut Tahrir Didirikan?

Kelompok sempalan ini didirikan di kota al-Quds (Yerusalem) pada 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah[1] dalam masalah asma’ dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahan agama.

Dia adalah Taqiyuddin an-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon. (Lihat Mengenal HT, hlm. 22; al-Mausu’ah al-Muyassarah, hlm. 135; dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hlm. 2, asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqi).

Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?! Wallahul musta’an. 

Landasan Berpikir Hizbut Tahrir

Landasan berpikir HT adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi dengan pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mengedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits ahad dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, menjuluki mereka dengan al-Mu’tazilah al-Judud (Mu’tazilah Gaya Baru).

Padahal jauh-jauh hari, sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu telah berkata, “Kalaulah agama ini tolok ukurnya adalah akal, niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”[2] HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 162, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Demikian pula menolak hadits ahad dalam masalah akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah ditetapkan oleh ulama kaum muslimin. Di antaranya adalah: Keistimewaan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam atas para nabi, syafaat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam untuk umat manusia dan untuk para pelaku dosa besar dari umatnya di hari kiamat, adanya siksa kubur, adanya jembatan (ash-shirath), telaga dan timbangan amal di hari kiamat, munculnya Dajjal, munculnya al-Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam di akhir zaman, dan lain sebagainya.

Adapun dalam masalah fikih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan. Maka dari itu, HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Di antaranya adalah: boleh mencium wanita nonmuslim, boleh melihat gambar porno, boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti) untuk negeri kafir, dan lain sebagainya. (al-Mausu’ah al-Muyassarah, hlm. 139-140) 


Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah

Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut, HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:

• Mendirikan Partai Politik

Dengan merujuk Surah Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. Untuk mendirikannya maka harus ditempuh tahapan pembinaan dan pengkaderan (marhalah at-tatsqif). (Lihat Mengenal HT hlm. 3)

Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia. Akan tetapi, mereka memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta membina para pengikutnya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) Hizb secara intensif, hingga akhirnya berhasil membentuk partai. (Lihat Mengenal HT hlm. 22, 23)

Adapun pendalilan mereka dengan Surah Ali ‘Imran ayat 104 tentang wajibnya mendirikan partai politik, maka merupakan pendalilan yang jauh dari kebenaran. Adakah di antara para sahabat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka yang berpendapat demikian?!

Kalaulah itu benar, pasti mereka telah mengatakannya dan saling berlomba untuk mendirikan parpol! Namun, kenyataannya mereka tidak seperti itu. Apakah HT lebih mengerti tentang ayat tersebut dari mereka?!

Cukup menunjukkan batilnya pendalilan ini adalah bahwa parpol terbangun di atas asas demokrasi, yang amat bertolak belakang dengan Islam. Bagaimana ayat ini dipakai untuk melegitimasi sesuatu yang bertolak belakang dengan makna yang dikandung ayat? Wallahu a’lam. 

• Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat)

Berinteraksi dengan umat (tafa’ul ma’al ummah) merupakan tahapan yang harus ditempuh setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada empat:

Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik (Lihat Mengenal HT, hlm. 24). Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyah (fanatisme) dan loyalitas terhadap HT.

Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya.

Taqiyuddin An-Nabhani berkata, “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam rangka memengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT, hlm. 24, Terjun ke Masyarakat, hlm. 7)

Betapa ironisnya, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa, sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan memorakporandakan kekuatannya.

Majalah Islam Asy-Syariah

• Asy Syariah Edisi 016

 

• Manhaji

Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah

By Redaksi on Mar 07, 2019

 

Orang yang tidak mengenal secara mendalam tentang kelompok Hizbut Tahrir tentu akan menganggap tujuan mereka yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyah sebagai cita-cita mulia.

Namun, apabila mengkaji lebih jauh siapa mereka, siapa pendirinya, bagaimana asas perjuangannya dan sebagainya, kita akan tahu bahwa klaim mereka ingin mendirikan Khilafah Islamiyah ternyata tidak dilakukan dengan cara-cara yang Islami.

Apa Itu Hizbut Tahrir?

Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah memproklamirkan diri sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial. (Mengenal HT, hlm. 1)

Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan HT bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politik. (Mengenal HT, hlm. 16)

Adapun aktivitas dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan, “Demikian pula, dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.” (Strategi Dakwah HT, hlm. 40—41)

Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia merupakan misi utama para nabi dan rasul. Allah ‘azza wa jalla menegaskan,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala sembahan selain-Nya’.” (an-Nahl: 36)

Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan,

بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang bagus.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul MufradAhmad, dan al-Hakim. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 45)

 

Tujuan dan Latar Belakang Hizbut Tahrir

Mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktivitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat Mengenal HT, hlm. 2, 54 )

Para pembaca, tahukah Anda, apa yang melandasi HT untuk mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi?

Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini—tanpa kecuali—termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Sebab, dalam kamus HT, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim.

Adapun Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. (Lihat Mengenal HT, hlm. 79)

Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya.

Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq.

Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 18/282)

Para pembaca, mengapa—menurut HT—harus satu khilafah?

Jawabannya, karena seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden), maupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Jadi, merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hlm. 49—55)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.

• Al-’Allamah Ibnul Azraq al-Maliki, Qadhi al-Quds (di masanya) berkata, “Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila memang tidak memungkinkan.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 37)

• Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Para imam dari setiap mazhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hlm. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 34)

• Al-Imam asy-Syaukani berkata, “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di setiap daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karena itu, (dalam kondisi seperti itu, -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing, -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan, -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (as-Sailul Jarrar, 4/512)

• Demikian pula yang dijelaskan al-Imam ash-Shan’ani, sebagaimana dalam Subulus Salam (3/347, cet. Darul Hadits).


 

Kapan Hizbut Tahrir Didirikan?

Kelompok sempalan ini didirikan di kota al-Quds (Yerusalem) pada 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah[1] dalam masalah asma’ dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahan agama.

Dia adalah Taqiyuddin an-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon. (Lihat Mengenal HT, hlm. 22; al-Mausu’ah al-Muyassarah, hlm. 135; dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hlm. 2, asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqi).

Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?! Wallahul musta’an. 

Landasan Berpikir Hizbut Tahrir

Landasan berpikir HT adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi dengan pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mengedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits ahad dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, menjuluki mereka dengan al-Mu’tazilah al-Judud (Mu’tazilah Gaya Baru).

Padahal jauh-jauh hari, sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu telah berkata, “Kalaulah agama ini tolok ukurnya adalah akal, niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”[2] HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 162, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Demikian pula menolak hadits ahad dalam masalah akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah ditetapkan oleh ulama kaum muslimin. Di antaranya adalah: Keistimewaan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam atas para nabi, syafaat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam untuk umat manusia dan untuk para pelaku dosa besar dari umatnya di hari kiamat, adanya siksa kubur, adanya jembatan (ash-shirath), telaga dan timbangan amal di hari kiamat, munculnya Dajjal, munculnya al-Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam di akhir zaman, dan lain sebagainya.

Adapun dalam masalah fikih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan. Maka dari itu, HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Di antaranya adalah: boleh mencium wanita nonmuslim, boleh melihat gambar porno, boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti) untuk negeri kafir, dan lain sebagainya. (al-Mausu’ah al-Muyassarah, hlm. 139-140) 

Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah

Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut, HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:

• Mendirikan Partai Politik

Dengan merujuk Surah Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. Untuk mendirikannya maka harus ditempuh tahapan pembinaan dan pengkaderan (marhalah at-tatsqif). (Lihat Mengenal HT hlm. 3)

Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia. Akan tetapi, mereka memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta membina para pengikutnya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) Hizb secara intensif, hingga akhirnya berhasil membentuk partai. (Lihat Mengenal HT hlm. 22, 23)

Adapun pendalilan mereka dengan Surah Ali ‘Imran ayat 104 tentang wajibnya mendirikan partai politik, maka merupakan pendalilan yang jauh dari kebenaran. Adakah di antara para sahabat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka yang berpendapat demikian?!

Kalaulah itu benar, pasti mereka telah mengatakannya dan saling berlomba untuk mendirikan parpol! Namun, kenyataannya mereka tidak seperti itu. Apakah HT lebih mengerti tentang ayat tersebut dari mereka?!

Cukup menunjukkan batilnya pendalilan ini adalah bahwa parpol terbangun di atas asas demokrasi, yang amat bertolak belakang dengan Islam. Bagaimana ayat ini dipakai untuk melegitimasi sesuatu yang bertolak belakang dengan makna yang dikandung ayat? Wallahu a’lam. 

• Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat)

Berinteraksi dengan umat (tafa’ul ma’al ummah) merupakan tahapan yang harus ditempuh setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada empat:

Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik (Lihat Mengenal HT, hlm. 24). Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyah (fanatisme) dan loyalitas terhadap HT.

Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya.

Taqiyuddin An-Nabhani berkata, “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam rangka memengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT, hlm. 24, Terjun ke Masyarakat, hlm. 7)

Betapa ironisnya, Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa, sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan memorakporandakan kekuatannya.

Lebih parah lagi, bila hal itu dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu gerakan sebagaimana yang dinyatakan pendiri mereka, “Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat, dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hlm. 35—36)

Ketiga: Negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar mereka. (Lihat Mengenal HT, hlm. 25)

Keempat: Menggulingkan para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Menentang mereka, mengungkapkan pengkhianatan, dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum islam. (Terjun Ke Masyarakat, hlm. 7, Mengenal HT, hlm. 16-17)

Demikianlah yang mereka munculkan. Namun, kenyataannya, dalam upaya penggulingan para penguasa kaum muslimin, tak segan-segan mereka meminta bantuan kepada orang-orang kafir dan meminta perlindungan dari negara-negara kafir. (Lihat Membongkar Selubung Hizbut Tahrir [1] hlm. 5)

Para pembaca, inilah hakikat manhaj Khawarij yang diperingatkan Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam. Tidakkah diketahui bahwa Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka”! Semakin parah lagi di saat mereka tambah berkomentar: “Bahkan, inilah bagian terpenting dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.” (Mengenal HT, hlm. 3)

Tidakkah mereka merenungkan sabda Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam,

“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.”

Hudzaifah berkata, “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”

Rasulullah bersabda, “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu, 3/1476, no. 1847)

• Demikian pula, tidakkah mereka renungkan sabda Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam“Barang siapa ingin menasihati penguasa tentang suatu perkara, janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi. Jika ia menerima nasihat tersebut, itulah yang diharapkan. Namun jika tidak menerimanya, berarti ia telah menunaikan kewajibannya (nasihatnya).” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dari ‘Iyadh bin Ghunmin radhiallahu ‘anhu, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)

Namun, sangat disayangkan, HT tetap menunjukkan sikap kepala batunya, sebagaimana yang mereka nyatakan, “Sikap HT dalam menentang para penguasa adalah menyampaikan pendapatnya secara terang-terangan, menyerang dan menentang. Tidak dengan cara nifaq (berpura-pura), menjilat, bermanis muka dengan mereka, simpang siur ataupun berbelok-belok, dan tidak pula dengan cara mengutamakan jalan yang lebih selamat. Hizb juga berjuang secara politik tanpa melihat lagi hasil yang akan dicapai dan tidak terpengaruh oleh kondisi yang ada.” (Mengenal HT, hlm. 26—27)

Mereka gembar-gemborkan slogan “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kata-kata haq di hadapan penguasa yang zalim.”

Namun, sayang sekali mereka tidak bisa memahaminya dengan baik. Buktinya, mereka mencerca para penguasa di mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan. Padahal kandungan kata-kata tersebut adalah menyampaikan nasihat “di hadapan” sang penguasa, bukan di mimbar-mimbar dan sebagainya.

Tidakkah mereka mengamalkan wasiat Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan sahabat ‘Iyadh bin Ghunmin di atas?!

Jangan terkecoh dengan ucapan mereka, “Meskipun demikian, Hizb telah membatasi aktivitasnya dalam aspek politik tanpa menempuh cara-cara kekerasan (perjuangan bersenjata) dalam menentang para penguasa maupun orang-orang yang menghalangi dakwahnya.” (Mengenal HT, hlm. 28)

Sebab, mereka pun akan menempuh cara tersebut pada tahapannya (tahapan akhir).

• Pengambilalihan Kekuasaan (Istilaamul Hukmi)

Tahapan ini merupakan puncak dan tujuan akhir dari segala aktivitas HT.

Dengan tegas, Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan, “Hanya saja setiap orang maupun syabab (pemuda) Hizb harus mengetahui, bahwasanya Hizb bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa, bukan dari tangan para penguasa yang ada sekarang saja. Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi penguasa dengan umat, kemudian dijadikannya kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyah.” (Terjun ke Masyarakat, hlm. 22—23)

Dalam tahapan ini, ada dua cara yang harus ditempuh:

1) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Islam, di mana sistem hukum Islam ditegakkan, tetapi penguasanya menerapkan hukum-hukum kufur, maka caranya adalah melawan penguasa tersebut dengan mengangkat senjata.

2) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Kufur, di mana sistem hukum Islam tidak diterapkan, maka caranya adalah dengan Thalabun Nushrah (meminta bantuan) kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan). (Lihat Strategi Dakwah HT, hlm. 38, 39, 72)

Subhanallah! Lagi-lagi prinsip Khawarij si “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka” yang mereka tempuh.

Wahai HT, ambillah pelajaran dari perkataan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini,

“Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujud melalui pengingkaran tersebut suatu kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Jika ingkarul mungkar mengakibatkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tidak boleh dilakukan, walaupun Allah subhanahu wa ta’ala membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya. Hal ini seperti pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak, sungguh yang demikian itu adalah sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa…

Barang siapa merenungkan apa yang terjadi pada (umat) Islam dalam berbagai fitnah yang besar maupun yang kecil, niscaya akan melihat bahwa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini dan tidak sabar atas kemungkaran, sehingga berusaha untuk menghilangkannya namun akhirnya justru muncul kemungkaran yang lebih besar darinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/6)

Mungkin HT berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir.

Dijelaskan oleh asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, “Barang siapa berhukum dengan selain hukum Allah, tidak keluar dari empat keadaan:


Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

• Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

• Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.

• Seseorang yang mengatakan, “Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (at-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad al-’Uraini hlm. 21-22)

Demikian pula, kalaulah sang penguasa itu terbukti melakukan kekufuran, maka yang harus ditempuh lebih-lebih dahulu adalah penegakan hujah dan nasihat kepadanya, bukan pemberontakan.

Adapun dalih mereka dengan hadits Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu,

فقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ

Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda, “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian!” (HR. Muslim, 3/1481, no.1855)

bahwa “mendirikan shalat di tengah-tengah kalian” adalah kiasan dari menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan. Jadi, menurut HT, walaupun seorang penguasa mendirikan shalat, namun dinilai belum menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, maka dianggap kafir dan boleh untuk digulingkan! Ini adalah pemahaman sesat dan menyesatkan.

Para pembaca, tahukah Anda dari mana takwil semacam itu? Masih ingatkah dengan landasan berpikir mereka? Ya, takwil itu tidak lain dari akal mereka semata… Bukan dari bimbingan para ulama. Wallahul musta’an.

Akhir kata, demikianlah gambaran ringkas tentang HT dan selubung sesatnya tentang khilafah. Semoga menjadi titian jalan untuk meraih petunjuk Ilahi.

Amin.

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Read More

Memahami ayat tidak berhukum dengan hukum Allah maka kafir



Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamWa Ba’du:


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

سيخرج في أخر الزمان قوم أحداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية يقرأون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية  فإذا لقيتموه فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم عند الله يوم القيامة

“Akan keluar pada akhir zaman, suatu kaum, umurnya masih muda, rusak akalnya, mereka bertutur dengan manis. Mereka membaca al-Qur’an, namun tidak melebihi kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama bagai terlepasnya anak panah dari busurnya. Apabila kalian menemuinya, bunuhlah mereka, karena terdapat ganjaran bagi mereka yang membunuh kaum tersebut.” (HR. Bukhari: 3611, Muslim: 1066)

Hadits ini salah satu di antara dalil yang memberitakan perihal kelompok sesat Khawarij. Jargon yang senantiasa mereka dengung-dengungkan adalah kembali untuk kembali kepada hukum Allah. Seruan yang baik dan patut didakwahkan, namun apa yang mereka dengungkan ternyata berakibat fatal dan hal itu disebabkan beberapa faktor, entah kekeliruan dalam memahami berbagai dalil, mengikuti perasaan dan hawa nafsu semata atau minimnya usaha mereka untuk merujuk kepada perkataan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah.

Jargon utama mereka adalah kalimat:

لاَ حُكْمَ إِلاَّ لله

“Tidak ada hukum yang layak diikuti melainkan hukum Allah semata.”

Secara lahiriah tidak ada yang keliru pada kalimat tersebut. Namun permasalahan terletak pada tindakan Khawarij dalam mempraktekkan kalimat tersebut dengan mengusung dalil firman Allah ta’ala:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Kalimat yang benar, namun dipraktekkan secara salah kaprah. Kalimat yang benar, namun menjadi momok tatkala kalimat tersebut diusung untuk memperkuat praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan oleh mereka. Oleh sebab itu sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu mengomentari jargon mereka tersebut dengan ucapan beliau:

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيْدَ بِهَا بَاطِلٌ

“Ucapan yang hak (benar), namun digunakan untuk membela kebatilan.” (HR. Ibnu Hibban: 6939, Syaikh Su’aib Al-Arnauth berkomentar, “Sanad hadits ini shahih menurut kriteria Muslim.”)

Minimnya keinginan untuk merujuk pada pemahaman sahabat dalam memahami dalil merupakan awal kekeliruan mereka sekaligus hal ini menunjukkan urgensi untuk menggunakan pemahaman sahabat dalam mengetahui maksud suatu dalil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengetengahkan beberapa perkataan para ulama di berbagai kurun waktu mengenai tafsir ayat hukum, ayat yang sering dijadikan landasan untuk membenarkan praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan.

Tafsir para ulama

1. Habrul Ummah dan Turjumanul Qur’an (penafsir al-Qur’an), Sahabat yang mulia


Abdullah ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma

‘Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang tafsir dari ayat,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44)

Beliau berkata:

من جحد ما أنزل الله، فقد كفر، ومن أقرّ به، لم يحكم به فهو ظالم فاسق

“(Maksudnya) adalah barang siapa yang mengingkari kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah sungguh dia telah kafir. Dan barang siapa yang mengakui kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah namun dia tidak berhukum dengannya maka dia adalah seorang zalim fasik.”

Thawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas tafsir beliau yang lain terhadap ayat ini, beliau (Ibnu Abbas) berkata:

“ليس بالكفر الذي يذهبون إليه”. وفي لفظ: “كفر لا ينقل عن الملة”. وفي لفظ آخر: “كفر دون كفر، وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق”. ولفظ ثالث: “هو به كفره، وليس كمن كفر بالله، وملائكته، وكتبه ورسله.

“(Kekafiran yang dimaksud dalam ayat tersebut -pent) bukanlah kekafiran sebagaimana yang mereka pahami (yang mengeluarkan pelakunya dari Islam). Dalam suatu lafazh dikatakan: Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama. Dan dalam lafazh yang lain: Kekufuran yang bukan kekufuran (kufrun duna kufrin), kedzoliman yang bukan kezaliman (zhulmun duna zhulmin) dan kefasikan yang bukan kefasikan (fisqun duna fisqin).”

Dan lafazh ketiga adalah: “Dia telah melakukan suatu bentuk kekufuran namun tidak sama dengan orang yang mengingkari (kufur) terhadap Allah, malaikat-Nya dan para rasul-Nya” (karena kekufuran yang seperti ini mengeluarkan pelakunya dari agama-pent).

Para ulama yang menegaskan akan benarnya penafsiran Ibnu Abbas dan berdalil dengan perkataan beliau

Al Hakim dalam Al Mustadrak (2/393) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (2/64) beliau berkata: Shahih menurut kriteria Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Al Imam Al Qudwah Muhammad bin Nashr Al Mawarzi dalam Ta’zhim Qadrish Shalat (2/520), Al Imam Abu Mizhfar As Sam’ani dalam Tafsirnya (2/42), Al Imam Al Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil (3/61), Al Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an (2/624), Al Imam Al Qurthubi dalam Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an (6/190), Al Imam Al Baqa’I dalam Nizhmud Duror (2/460), Al Imam Al Wahidi dalam Al Wasith (2/191), Al Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Nailul Maram (2/472), Al Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqhithy dalam Adwa’ul Bayan (2/101), Al Allamah Abu Ubaid al Qosim bin Salam dalam Al Iman (hal.45), Al Allamah Abu Hayyan dalam Al Bahr Al Muhith (3/492), Al Imam Ibnu Baththah dalam Al Ibanah (2/723), Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Allamah Al Kahzin dalam Tafsirnya (1/310), Al Allamah As Sa’di dalam Tafsirnya (2/296), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (7/312), Al Allamah Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah dalam Madarijus Salikin (1/335), Muhaddits Abad ini Al Allamah Al Albani dalam Ash Shohihah (6/109).

Faqihuz Zaman, Al Allamah Ibnu ‘Utsaimin dalam At Tahdzir min Fitnatit Takfir berkata (hal.68):

لكن لما كان هذا الأثر لا يرضي هؤلاء المفتونين بالتكفير؛ صاروا يقولون: هذا الأثر غير مقبول! ولا يصح عن ابن عباس! فيقال لهم: كيف لا يصحّ؛ وقد تلقاه من هو أكبر منكم، وأفضل، وأعلم بالحديث؟! وتقولون: لا نقبل … فيكفينا أن علماء جهابذة؛ كشيخ الإسلام ابن تيمية، وابن القيم – وغيرهما – كلهم تلقوه بالقبول ويتكلمون به، وينقلونه؛ فالأثر صحيح.

Akan tetapi tatkala atsar ini tidak diterima oleh mereka yang terjangkiti penyakit takfir (pengkafiran kaum muslimin secara mutlak dan tidak memakai kaidah-kaidah dalam mengafirkan seseorang -pent), mereka mengatakan: Atsar ini tidak bisa diterima dan tidak berasal dari Ibnu Abbas. Maka kita katakan kepada mereka: Bagaimana bisa atsar tersebut tidak shahih, padahal atsar tersebut telah diterima oleh orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya, lebih banyak keutamaannya dan lebih tahu tentang hadits daripada kalian? Namun anehnya kalian tetap mengatakan: Kami tidak akan menerimanya. Maka cukuplah bagi kita bahwa para ulama yang benar-benar alim seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan lain-lain, semuanya menerima atsar tersebut, berpendapat dengannya dan menukilnya. Alhasil atsar tersebut shahih.”

2. Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ahAl Imam Ahmad bin Hambal
(wafat tahun 241 H)

Isma’il bin Sa’d berkata dalam Sualaat Ibn Haani (2/192):

Aku bertanya kepada Imam Ahmad (tentang firman Allah ta’ala -pent):

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Kekufuran apakah yang dimaksud (dalam ayat ini-pent)?, maka beliau menjawab:

كفر لا يخرج من الملة

“Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.”

Dan tatkala Abu Dawud As Sijistaniy bertanya kepada beliau dalam Sualaat (hal.114) tentang ayat tersebut, maka beliau menjawabnya dengan perkataan Thawus dan Atha’ yang terdahulu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menceritakan dalam Majmu’ Fatawaa (7/254), dan muridnya Ibnul Qayyim dalam (Hukmu Tarikish Shalat, hal 59-60): Bahwa Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang makna kufur yang disebutkan dalam ayat hukum, maka beliau berkata:

كفر لا ينقل عن الملة؛ مثل الإيمان بعضه دون بعض، فكذلك الكفر، حتى يجيء من ذلك أمر لا يختلف فيه

“Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, sebagaimana iman itu bertingkat-tingkat. Demikian pula kekufuran, hingga seseorang melakukan suatu hal yang tidak ada perselisihan di dalamnya (bahwa melakukannya dapat mengeluarkan pelakunya dari agama -pent).”


3. Al Imam Muhammad Ibn Nashr Al Marwazi
(wafat tahun 294 H)

Beliau berkata dalam Ta’zhimu Qadrish Shalat (2/520):

ولنا في هذا قدوة بمن روى عنهم من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم والتابعين؛ إذ جعلوا للكفر فروعاً دون أصله لا تنقل صاحبه عن ملة الإسلام، كما ثبتوا للإيمان من جهة العمل فرعاً للأصل، لا ينقل تركه عن ملة الإسلامة، من ذلك قول ابن عباس في قوله: وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ .

“Dan kami memiliki panutan dalam perkara ini, yaitu mereka yang meriwayatkan dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari para tabi’in. Yaitu mereka menetapkan bahwa kekufuran itu memiliki cabang-cabang, yang tidak mengeluarkan pelakunya (yakni pelaku cabang-cabang kekufuran tersebut -pent) dari Islam sebagaimana mereka menetapkan bahwa suatu amal merupakan cabang iman sehingga yang meninggalkannya tidak keluar dari Islam. Di antaranya adalah penafsiran Ibnu Abbas tentang firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Dan beliau juga berkata (2/532) mengomentari perkataan Atha’:

“كفر دون كفر، وظلم دون ظلم وفسق دون فسق”-: وقد صدق عطاء؛ قد يسمى الكافر ظالماً، ويسمى العاصي من المسلمين ظالماً، فظلم ينقل عن ملة الإسلام وظلم لا ينقل”

“Kekufuran yang bukan kekufuran (kekufuran kecil), kezaliman yang bukan kezaliman (kezaliman kecil) dan kefasikan yang bukan kefasikan (kefasikan kecil)”. Sungguh benar apa yang dikatakan Atha’, karena terkadang seorang yang kafir disebut zalim dan terkadang muslim yang bermaksiat disebut zalim. Jadi ada kezaliman yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada kezaliman yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam”

4. Syaikhul Mufassirin Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabary
(wafat tahun 310 H)

Beliau berkata dalam Jami’ul Bayan (6/166):

وأولى هذه الأقوال عندي بالصواب: قول من قال: نزلت هذه الآيات في كفّار أهل الكتاب، لأن ما قبلها وما بعدها من الآيات ففيهم نزلت، وهم المعنيون بها، وهذه الآيات سياق الخبر عنهم، فكونها خبراً عنهم أولى. فإن قال قائل: فإن الله تعالى قد عمّ بالخبر بذلك عن جميع من لم يحكم بما أنزل الله، فكيف جعلته خاصاً؟! قيل: إن الله تعالى عمّ بالخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به في كتابه جاحدين، فأخبر عنهم أنهم بتركهم الحكم على سبيل ما تركوه كافرون، وكذلك القول في كلّ من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً به، هو بالله كافر؛ كما قال ابن عباس”.

“Dan pendapat yang paling benar menurutku adalah pendapat yang menyatakan ayat ini diturunkan untuk orang-orang kafir ahli kitab, karena ayat sebelum dan sesudahnya menerangkan demikian dan merekalah yang menjadi objek pembicaraan dalam ayat itu. Ayat ini merupakan bentuk pemberitaan tentang mereka, maka pendapat yang menyatakan ayat tersebut adalah pemberitaan tentang mereka lebih utama untuk diterima.

Jika ada yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah ta’ala dengan pengabaran dalam ayat tersebut tidak membeda-bedakan dan mencakup seluruh orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka bagaimana bisa kamu mengkhususkannya?’

Jawabannya: ‘Sesungguhnya Allah ta’ala dengan ayat ini memberi keumuman terhadap suatu kaum yang mengingkari kewajiban berhukum dengan apa yang ditetapkan Allah dalam kitab-Nya. Maka Dia mengabarkan tentang mereka, bahwa tatkala mereka meninggalkan hukum Allah seperti yang dilakukan orang-orang kafir ahli kitab maka mereka menjadi kafir. Dan demikianlah vonis bahwa setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena mengingkarinya maka dia telah kafir kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas.”

5. Al Imam Ibnu Baththah Al Akbari
(wafat tahun 387 H)

Beliau menyebutkan dalam Al Ibanah (2/723), “Bab beberapa dosa yang mengantarkan pelakunya pada kekufuran tanpa mengeluarkannya dari agama”:

الحكم بغير ما أنزل الله، وأورد آثار الصحابة والتابعين على أنه كفر أصغر غير ناقل من الملة

“(Di antara dosa-dosa tersebut -pent) adalah berhukum dengan selain hukum Allah, dan terdapat atsar dari para sahabat dan tabi’in bahwa hal itu merupakan kufur asghar dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.”

Al Imam Ibnu Abdil Barr
(wafat tahun 463H)

Beliau berkata dalam At Tamhid (5/74):

“وأجمع العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمد ذلك عالما به، رويت في ذلك آثار شديدة عن السلف، وقال الله عز وجل: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾،﴿ الظَّالِمُونَ ﴾،﴿ الْفَاسِقُونَ ﴾ نزلت في أهل الكتاب، قال حذيفة وابن عباس: وهي عامة فينا؛ قالوا ليس بكفر ينقل عن الملة إذا فعل ذلك رجل من أهل هذه الأمة حتى يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر روي هذا المعنى عن جماعة من العلماء بتأويل القرآن منهم ابن عباس وطاووس وعطاء”.

“Ulama sepakat bahwa penyimpangan dari hukum Allah termasuk dosa-dosa besar bagi orang yang sengaja melakukannya sedang dia mengetahui kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah, telah diriwayatkan akan hal itu atsar dari para salaf.

Allah telah berfirman yang artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Di ayat sesudahnya “mereka itulah orang-orang yang zalim” dan ayat sesudahnya “mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Ayat ini diturunkan terkait dengan Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini umum dan mencakup umat kita”. Mereka mengatakan: “Akan tetapi hal itu tidak mengeluarkan pelakunya dari agama apabila seseorang dari umat ini melakukannya hingga dia mengkufuri Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kiamat. Penjelasan semisal diriwayatkan dari para ulama’ di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Thawus dan Atha’.”


Al Imam As Sam’ani
(wafat tahun 510 H)

Beliau berkata dalam tafsirnya terhadap ayat hukum (2/42):

واعلم أن الخوارج يستدلون بهذه الآية، ويقولون: من لم يحكم بما أنزل الله؛ فهو كافر، وأهل السنة قالوا: لا يكفر بترك الحكم.

“Ketahuilah sesungguhnya Khawarij berdalil dengan ayat ini sembari mengatakan: ‘Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka dia kafir’, sedangkan Ahlus Sunnah tidaklah mengafirkan (kaum muslimin -pent) lantaran tidak berhukum dengan hukum Allah (maksudnya tidak serampangan mengafirkan secara perorangan seperti yang dilakukan Khawarij, akan tetapi harus dirinci -pent).

Al Imam Ibnul Jauzy
(wafat tahun 597 H)

Beliau berkata dalam Zaadul Masir (2/366):

وفصل الخطاب: أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكمم به؛ فهو ظالم فاسق”.

“Kesimpulannya adalah: Siapa yang tidak berhukum dengan yang Allah turunkan dengan mengingkari kewajibannya, sedangkan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana perbuatan kaum Yahudi maka dia kafir. Dan barang siapa yang tidak berhukum dengannya karena condong kepada hawa nafsu tanpa mengingkari kewajibannya, maka dia seorang yang zalim fasik. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau berkata: “Barang siapa yang mengingkari apa yang telah Allah turunkan maka dia kafir, dan barang siapa yang mengakui dan tidak menentangnya akan tetapi dia tidak berhukum dengannya maka dia seorang yang zalim lagi fasik.”

Al Imam Ibnul ‘Arabi
(wafat tahun 543 H)

Beliau rahimahullah berkata dalam Ahkamul Qur’an (2/624):

وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله، فهو تبديل له يوجب الكفر، وإن حكم به هوى ومعصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين”.

(Hukum dalam hal ini berbeda -pent), apabila dia berhukum dengan hukum buatannya sendiri dengan keyakinan bahwa itulah hukum Allah, maka ini adalah tabdil (penggantian -pent) terhadap hukum Allah sehingga pelakunya berhak untuk dikafirkan. Akan tetapi apabila dia berhukum dengan hukum selain Allah karena hawa nafsu dan maksiat, maka dia berdosa dan masih berhak untuk mendapatkan ampunan sebagaimana akidah ahlus sunnah tentang ampunan terhadap orang-orang yang berdosa.

Al Imam Al Qurthubi
(wafat tahun 671 H)

Beliau berkata dalam Al Mufhim (5/117):

وقوله ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ يحتج بظاهره من يكفر بالذنوب، وهم الخوارج!، ولا حجة لهم فيه؛ لأن هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى، كما جاء في الحديث، وهم كفار، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب النزول. وبيان هذا: أن المسلم إذا علم حكم الله تعلى في قضية قطعاً ثم لم يحكم به، فإن كان عن جحد كان كافراً، لا يختلف في هذا، وإن كان لا عن جحد كان عاصياً مرتكب كبيرة، لأنه مصدق بأصل ذلك الحكم، وعالم بوجوب تنفيذه عليه، لكنه عصى بترك العمل به، وهذا في كل ما يُعلم من ضرورة الشرع حكمه؛ كالصلاة وغيرها من القواعد المعلومة، وهذا مذهب أهل السنة”.

Firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar berdalil dengan ayat ini, tapi ayat ini bukanlah hujjah bagi mereka, karena ayat ini diturunkan terkait dengan Yahudi yang telah merubah firman Allah ta’ala sebagaimana yang diterangkan dalam hadits sedangkan mereka itulah orang kafir.

Maka seseorang yang berhukum dengan hukum selain Allah akan dihukumi sama dengan Yahudi (yakni kafir keluar dari agama -pent) apabila keadaan mereka sesuai dengan asbabun nuzul ayat tersebut (yakni kaum Yahudi dikafirkan karena merubah firman Allah ta’ala -pent).

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya seorang muslim apabila dia mengetahui hukum Allah ta’ala dalam suatu masalah, kemudian dia tidak berhukum dengannya, apabila hal itu dilakukan karena dia menentang hukum Allah maka dia kafir, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Akan tetapi apabila dia melakukan hal itu tanpa maksud menentang maka dia telah melakukan maksiat dan dosa besar, karena dia pada asalnya masih meyakini kebenaran hukum Allah dan dia mengetahui kewajiban untuk melaksanakannya akan tetapi dia bermaksiat ketika tidak mengamalkannya.

Apa yang kami jabarkan ini berlaku dalam segala hal yang telah diketahui hukumnya secara pasti seperti shalat dan selainnya landasan-landasan pokok agama yang lain. Dan inilah mazhab ahlus sunnah.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(wafat tahun 728)

Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa (3/267):

والإنسان متى حلّل الحرام المجمع عليه أو حرم الحرام المجمع عليه أو بدل الشرع المجمع عليه كان كافراً مرتداً باتفاق الفقهاء، وفي مثل هذا نزل قوله على أحد القولين : ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ المائدة:44 ؛ أي: المستحل للحكم بغير ما أنزل الله”.

“Seseorang tatkala menghalalkan sesuatu yang telah disepakati keharamannya (oleh syariat-pent) atau mengharamkan sesuatu yang telah disepakati kehalalannya atau mengganti salah satu syariat yang telah disepakati maka dia kafir, murtad dengan kesepakatan para ulama’. Dan yang senada dengan hal ini adalah firman Allah ta’ala, menurut salah satu dari dua penafsiran:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Maksudnya adalah orang yang beranggapan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah.

وقال في منهاج السنة (5/130): قال تعالى: ﴿ فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا ﴾ النساء:65؛ فمن لم يلتزم تحكيم الله ورسوله فيما شجر بينهم؛ فقد أقسم الله بنفسه أنه لا يؤمن، وأما من كان ملتزماً لحكم الله ورسولة باطناً وظاهراً، لكن عصى واتبع هواه؛ فهذا بمنزلة أمثاله من العصاة. وهذه الآية مما يحتج بها الخوارج على تكفير ولاة الأمر الذين لا يحكمون بما أنزل الله، ثم يزعمون أن اعتقادهم هو حكم الله. وقد تكلم الناس بما يطول ذكره هنا، وما ذكرته يدل عليه سياق الآية”.

Dalam Minhajus Sunnah (5/130) beliau berkata:

Allah ta’ala berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65)

Maka barang siapa yang tidak komitmen menggunakan aturan Allah dan rasul-Nya sebagai hukum dalam perkara yang mereka perselisihkan, maka Allah telah bersumpah bahwasanya mereka tidak beriman. Adapun seorang yang komitmen dengan hukum Allah dan rasul-Nya baik secara batin dan zhahir akan tetapi dia bermaksiat dan mengikuti hawa nafsunya (sehingga dia menyimpang dari hukum Allah dan rasul-Nya) maka dia termasuk ahli maksiat.

Ayat ini termasuk dalil yang digunakan oleh Khawarij untuk mengkafirkan para penguasa yang tidak berhukum dengan yang Allah turunkan kemudian mereka menyangka bahwa keyakinan mereka tersebut merupakan hukum Allah. Telah banyak pembahasan para ulama akan hal ini, yang tidak mungkin dicantumkan di sini, dan apa yang telah aku sebutkan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh siyaq (rentetan) ayat.

وقال في “مجموع الفتاوى” (7/312): “وإذا كان من قول السلف: (إن الإنسان يكون فيه إيمان ونفاق)، فكذلك في قولهم: (إنه يكون فيه إيمان وكفر) ليس هو الكفر الذي ينقل عن الملّة، كما قال ابن عباس وأصحابه في قوله تعالى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ قالوا: كفروا كفراً لا ينقل عن الملة، وقد اتّبعهم على ذلك أحمد بن حنبل وغيره من أئمة السنة”.

Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa (7/312): “Termasuk di antara perkataan salaf: ‘Sesungguhnya terkadang dalam diri seseorang terdapat keimanan dan kenifakan’ dan demikian juga perkataan mereka: ‘Sesungguhnya terkadang dalam diri seseorang terdapat keimanan dan kekufuran’, (akan tetapi yang di maksud -pent) bukanlah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, hal ini sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas dan para sahabatnya terhadap ayat Allah ta’ala:

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Mereka mengatakan: “Mereka telah melakukan perbuatan kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama”, dan penafsiran mereka diikuti oleh Ahmad Ibnu Hanbal dan imam-imam sunnah selain beliau.


Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
(wafat tahun 751 H)

Dalam Madarijus Salikin (1/336), beliau berkata:

والصحيح: أن الحكم بغير ما أنزل الله يتناول الكفرين: الأصغر والأكبر بحسب حال الحاكم، فإنه إن اعتقد وجوب الحكم بما أنزل الله في هذه الواقعة، وعدل عنه عصياناً، مع اعترافه بأنه مستحق للعقوبة؛ فهذا كفر أصغر. وإن اعتقد أنه غير واجب، وأنه مُخيّر فيه، مع تيقُنه أنه حكم الله، فهذا كفر أكبر. إن جهله وأخطأه، فهذا مخطئ، له حكم المخطئين.

“Yang benar, perbuatan berhukum dengan selain yang Allah turunkan mencakup dua jenis kekufuran, yaitu kufur asghar dan kufur akbar tergantung kondisi yang ada pada seorang hakim. Apabila dia meyakini wajibnya untuk berhukum dengan yang Allah turunkan dalam suatu perkara, kemudian dia berpaling karena maksiat sedangkan dia mengetahui dan meyakini bahwa dia berhak untuk di azab atas perbuatannya tersebut, maka perbuatan ini termasuk kufur asghar. Apabila dia meyakini bahwa berhukum dengan yang Allah turunkan tidak wajib baginya dan dia bebas memilih serta meyakini bahwa yang demikian itu adalah hukum Allah maka perbuatan ini merupakan kufur akbar. Akan tetapi apabila dia tidak tahu hukum Allah dan salah dalam menghukumi, maka dia seorang yang mukhthi’ (berbuat salah dengan tidak sengaja -pent) dan berlaku untuknya ketentuan untuk orang yang salah tanpa disengaja.”

Beliau berkata dalam Ash Shalat wa Hukmu Taarikiha (hal. 72):

وههنا أصل آخر، وهو الكفر نوعان: كفر عمل. وكفر جحود وعناد. فكفر الجحود: أن يكفر بما علم أن الرسول جاء به من عند الله جحوداً وعناداً؛ من أسماء الرب، وصفاته، وأفعاله، وأحكامه. وهذا الكفر يضاد الإيمان من كل وجه.وأما كفر العمل: فينقسم إلى ما يضاد الإيمان، وإلى ما لا يضاده: فالسجود للصنم، والاستهانة بالمصحف، وقتل النبيِّ، وسبه؛ يضاد الإيمان. وأما الحكم بغير ما أنزل الله ، وترك الصلاة؛ فهو من الكفر العملي قطعاً”.

“Ada kaidah yang patut diperhatikan, yaitu kekufuran itu ada dua jenis, kufur amali dan kufur juhud wa inad. Yang dimaksud dengan kufur juhud adalah seseorang mengkufuri dan menentang ajaran rasul baik berupa nama-nama dan sifat-sifat-Nya, perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya padahal dia mengetahui bahwa itu berasal dari sisi Allah, maka kekufuran jenis ini meniadakan iman secara keseluruhan. Adapun kufur amali dibagi dua, yaitu yang meniadakan iman dan yang tidak meniadakan iman. Sujud kepada berhala, meremehkan mushaf al-Qur’an, membunuh dan mencela para nabi merupakan kufur amali yang meniadakan iman. Adapun berhukum dengan selain hukum Allah, meninggalkan shalat maka ini jelas termasuk kufur amali yang boleh jadi meniadakan atau tidak meniadakan iman.”

Al Hafizh Ibnu Kasir
(wafat tahun 774)

Beliau rahimahullah berkata dalam Tafsirul Qur’anil Azhim (2/61) ketika menafsiri firman Allah ta’ala:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

لأنهم جحدوا حكم الله قصداً منهم وعناداً وعمداً، وقال ههنا: (فَأُوْلَـئِكَ هُم الظَّالِمُونَ) لأنهم لم ينصفوا المظلوم من الظالم في الأمر الذي أمر الله بالعدل والتسوية بين الجميع فيه، فخالفوا وظلموا وتعدوا”.

“(Mereka dikafirkan -pent) karena mereka menentang hukum Allah secara langsung dan sengaja.”

Dan Allah juga berfirman dalam surat yang sama:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

Mereka disebut dengan zalim karena mereka tidak berlaku adil terhadap orang-orang yang di zalimi dalam suatu perkara yang Allah telah perintahkan untuk berlaku adil di dalamnya -baik terhadap orang zalim maupun tidak-, malahan mereka menyelisihi perintah Allah tersebut, berbuat zalim dan melampaui batas.

Al Imam Asy Syathibi
(wafat tahun 790)

Beliau berkata dalam Al Muwafaqat (4/39):

“هذه الآية والآيتان بعدها نزلت في الكفار، ومن غيّر حكم الله من اليهود، وليس في أهل الإسلام منها شيء؛ لأن المسلم –وإن ارتكب كبيرة- لا يقال له: كافر”

“Ayat ini dan dua ayat sesudahnya diturunkan terhadap orang-orang kafir Yahudi yang telah merubah hukum-hukum Allah. Ayat ini sama sekali tidak boleh digunakan terhadap kaum muslimin (yakni untuk mengafirkan mereka -pent), karena seorang muslim yang mengerjakan dosa besar tidak disebut orang kafir.”

Al Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi
(wafat tahun 791)

Beliau berkata dalam Syarah Aqidah Thahawiyah (hal. 323):

وهنا أمر يجب أن يتفطن له، وهو: أن الحكم بغير ما أنزل الله قد يكون كفراً ينقل عن الملة، وقد يكون معصية: كبيرة أو صغيرة، ويكون كفراً: أما مجازاً؛ وإما كفراً أصغر، على القولين المذكورين. وذلك بحسب حال الحاكم: فإنه إن اعتقد أن الحكم بما أنزل الله غير واجب، وأنه مخير فيه، أو استهان به مع تيقنه أنه حكم الله؛ فهذا أكبر. وإن اعتقد وجوب الحكم بما أنزل الله، وعلمه في هذه الواقعه، وعدل عنه مع اعترافه بأنه مستحق للعقوبة؛ فهذا عاص، ويسمى كافراً كفراً مجازيا، أو كفراً أصغر. وإن جهل حكم الله فيها مع بذل جهده واستفراغ وسعه في معرفة الحكم وأخطأه؛ فهذا مخطئ، له أجر على اجتهاده، وخطؤه مغفور.

“Di sini ada hal yang harus dipahami dengan benar, yaitu bahwa berhukum dengan selain hukum Allah terkadang merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari Islam dan terkadang bisa berupa kemaksiatan baik besar maupun kecil. Dan juga terkadang bisa berbentuk kekufuran majazi (kiasan) yang disebut juga dengan kufur kecil. Ada dua pendapat dalam hal ini sebagaimana yang telah disebutkan. Dan kekufuran ini tergantung kondisi orang yang berhukum (memutuskan).

Apabila ia berkeyakinan bahwa berhukum kepada hukum Allah itu tidak wajib, ada alternatif lain atau dia meremehkannya padahal dia yakin itu adalah hukum Allah, maka hal itu merupakan kekufuran besar.

Namun apabila dia yakin kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah dan dalam konteks yang terjadi dia juga menyadari hal itu kemudian dia menyimpang dari hukum Allah sedang dia tahu dia berhak mendapatkan siksa maka orang ini bermaksiat. Dia disebut kafir secara kiasan saja atau disebut juga kufur kecil. Dan apabila dia tidak mengetahui hukum Allah dalam perkara itu setelah dia mengerahkan segala kemampuan untuk mengetahui hukumnya kemudian dalam memutuskan ternyata salah, maka ia adalah seorang mukhthi’ (bersalah tanpa disengaja -pent). Dia mendapat satu ganjaran atas ijtihadnya, sedangkan kesalahannya diampuni.”

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani
(wafat tahun 852 H)

Beliau berkata dalam Fathul Baari (13/120):

“إن الآيات، وإن كان سببها أهل الكتاب، لكن عمومها يتناول غيرهم، لكن لما تقرر من قواعد الشريعة: أن مرتكب المعصية لا يسمى: كافراً، ولا يسمى – أيضاً – ظالماً؛ لأن الظلم قد فُسر بالشرك، بقيت الصفة الثالثة”؛ يعني الفسق.

“Sesungguhnya ayat-ayat ini (yakni ayat-ayat yang membicarakan tentang berhukum kepada selain hukum Allah yang terdapat dalam surat Al Maaidah -pent) walaupun sebab diturunkannya adalah karena perbuatan ahli kitab akan tetapi keumuman ayat-ayat tersebut juga mencakup selain mereka (termasuk kaum muslimin -pent). Namun tatkala terdapat kaidah syariat, yaitu pelaku maksiat tidak disebut kafir dan juga tidak disebut zalim, karena makna zalim adalah syirik, maka yang tersisa adalah sifat yang ketiga bagi orang Islam yang berhukum dengan hukum Allah yakni fasik.”

Al Allamah Abdul Lathif bin Abdirrahman Alus Syaikh
(wafat tahun 1293 H)

Beliau berkata dalam Minhajut Ta’sis (hal. 71):

وإنما يحرُم إذا كان المستند إلى الشريعة باطلة تخالف الكتاب والسنة، كأحكام اليونان والإفرنج والتتر، وقوانينهم التي مصدرها آراؤهم وأهوائهم، وكذلك البادية وعادتهم الجارية… فمن استحل الحكم بهذا في الدماء أو غيرها؛ فهو كافر، قال تعالى : ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ … وهذه الآية ذكر فيها بعض المفسرين: أن الكفر المراد هنا: كفر دون الكفر الأكبر؛ لأنهم فهموا أنها تتناول من حكم بغير ما أنزل الله، وهو غير مستحل لذلك، لكنهم لا ينازعون في عمومها للمستحل، وأن كفره مخرج عن الملة”.

“Sesungguhnya yang haram adalah jika seseorang bersandar pada suatu aturan yang batil dan menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah seperti undang-undang Yunani, Eropa, Tartar, dan undang-undang mereka yang bersumber dari pemikiran-pemikiran dan hawa nafsu mereka.

Maka barang siapa yang menganggap boleh untuk berhukum dengan undang-undang tersebut dalam permasalahan darah atau selainnya, maka dia seorang yang kafir (keluar dari agama -pent). Allah ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa kekufuran yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kekufuran yang bukan kekufuran akbar (yakni tidak mengeluarkan pelakunya dari agama -pent), karena mereka (yakni sebagian ahli tafsir) memahami bahwa ayat ini juga mencakup setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah meskipun orang tersebut tidak menghalalkan perbuatannya tersebut (yakni tetap meyakini akan kewajiban untuk berhukum kepada hukum Allah tapi dia menyimpang dari hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu -pent). Namun ahli tafsir tidak berselisih akan kekufuran orang yang menghalalkan perbuatan tersebut (yakni menghalalkan untuk tidak berhukum kepada hukum Allah -pent) dan bahwa kekufuran mereka itu mengeluarkan dari agama.”

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy
(wafat tahun 1307 H)

Beliau berkata dalam Taisirul Karimir Rahman (2/296-297):

فالحكم بغير ما أنزل الله من أعمال أهل الكفر، وقد يكون كفرً ينقل عن الملة، وذلك إذا اعتقد حله وجوازه، وقد يكون كبيرة من كبائر الذنوب، ومن أعمال الكفر قد استحق من فعله العذاب الشديد .. ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ قال ابن عباس: كفر دون كفر، وظلم دون ظلم، وفسق دون فسق، فهو ظلم أكبر عند استحلاله، وعظيمة كبيرة عند فعله غير مستحل له”.

“Berhukum kepada selain hukum Allah merupakan amalan orang kafir. Terkadang perbuatan tersebut merupakan kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, yaitu apabila pelakunya meyakini kehalalan dan bolehnya hal tersebut. Dan terkadang hal itu merupakan dosa besar dan termasuk perbuatan kekufuran sehingga orang yang melakukannya mendapatkan siksa yang sangat pedih.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Ibnu Abbas berkata: “Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, kezaliman yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, kefasikan yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama”. Maka perbuatan tersebut merupakan kezaliman akbar (yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama -pent) ketika pelakunya menghalalkan perbuatan tersebut, dan merupakan dosa besar (dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama -pent) ketika dia melakukannya tanpa menghalalkan hal tersebut.”

Al Allamah Shiddiq Hasan Khan
(wafat tahun 1307 H)

Beliau berkata dalam Ad Dinul Khalis (3/305):

“الآية الكريمة الشريفة تنادي عليهم بالكفر، وتتناول كل من لم يحكم بما أنزل الله، أللهم إلا أن يكون الإكراه لمهم عذراً في ذلك، أو يعتبر الاستخفاف أو الاستحلال؛ لأن هذه القيود إذا لم تعتبر فيهم، لا يكون أحد منهم ناجياً من الكفر والنار أبداً”.

“Ayat yang mulia ini mencakup mereka (yang berhukum dengan selain hukum Allah -pent) dengan kekufuran dan ayat ini juga mencakup setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, terkecuali mereka yang dipaksa, maka mereka memiliki udzur. Mereka dicap dengan kekufuran dengan syarat mereka melakukannya dengan penghalalan atas perbuatan mereka dan meremehkan hukum Allah, apabila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan (yakni sikap menghalalkan dan meremehkan -pent), maka tidak akan ada seorangpun yang akan dapat selamat sama sekali dari kekufuran dan neraka.”

Samahatusy Syaikh Al Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh
(wafat tahun 1389 H)

Beliau berkata dalam Majmu’ul Fatawa (1/80):

وكذلك تحقيق معنى محمد رسول الله: من تحكيم شريعته، والتقيد بها، ونبذ ما خالفها من القوانين والأوضاع وسائر الأشياء التي ما أنزل الله بها من سلطان، والتي من حكم بها يعني القوانين الوضعية أو حاكم إليها؛ معتقداً صحة ذلك وجوازه؛ فهو كافر الكفر الناقل عن الملة، فإن فعل ذلك بدون اعتقاد ذلك وجوازه؛ فهو كافر الكفر العملي الذي لا ينقل عن الملّة”.

“Dan demikian pula termasuk pemurnian makna syahadat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul Allah, yaitu berhukum dengan syariat beliau, berpegang teguh dengannya dan mengesampingkan undang-undang yang menyelisihinya dan segala aturan yang tidak diturunkan oleh Allah.

Seseorang yang berhukum atau meminta hukum suatu perkara dengan undang-undang buatan manusia dengan meyakini bolehnya hal tersebut, maka dia telah kafir dan keluar dari agama. Namun apabila dia melakukannya tanpa meyakini bahwa hal tersebut halal dan boleh, maka dia melakukan kufur amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.”

Al Allamah Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithy
(wafat tahun 1393 H)

Beliau berkata dalam Adwa’ul Bayan (2/104):

واعلم: أن تحرير المقال في هذا البحث: أن الكفر والظلم والفسق، كل واحد منها أطلق في الشرع مراداً به المعصية تارة، والكفر المخرج من الملة أخرى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معارضاً للرسل، وإبطالاً لأحكام الله؛ فظلمه وفسقه وكفره كلها مخرج من الملة. ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معتقداً أنه مرتكب حراماً، فاعل قبيحاً، فكفره وظلمه وفسقه غير مخرج من الملة”

“Ketahuilah, bahwa kesimpulan dari pembahasan ini, bahwa penggunaan istilah kekufuran, kezaliman dan kefasikan dalam dalil-dalil syariat terkadang maksudnya adalah kemaksiatan dan terkadang yang dimaksud adalah sesuatu yang mengeluarkan dari Islam.

Maka barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah karena menentang para rasul dan membatalkan hukum Allah, maka kekufuran, kezaliman dan kefasikannya mengeluarkannya dari Islam. Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah sedang dia meyakini bahwa dia telah melakukan keharaman dan melakukan kejelekan, maka kekufuran, kezaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkan dia dari Islam

Muhaddits Abad Ini Al Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani
(wafat tahun 1421 H)

Beliau berkata dalam At Tahdzir min Fitnatit Takfir (hal. 56):

” … ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾؛ فما المراد بالكفر فيها؟ هل هو الخروج عن الملة؟ أو أنه غير ذلك؟، فأقول: لا بد من الدقة في فهم الآية؛ فإنها قد تعني الكفر العملي؛ وهو الخروج بالأعمال عن بعض أحكام الإسلام. ويساعدنا في هذا الفهم حبر الأمة، وترجمان القرآن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، الذي أجمع المسلمون جميعاً – إلا من كان من الفرق الضالة – على أنه إمام فريد في التفسير. فكأنه طرق سمعه – يومئذ – ما نسمعه اليوم تماماً من أن هناك أناساً يفهمون هذه الأية فهماً سطحياً، من غير تفصيل، فقال رضي الله عنه: “ليس الكفر الذي تذهبون إليه”، و:”أنه ليس كفراً ينقل عن الملة”، و:”هو كفر دون كفر”، ولعله يعني: بذلك الخوارج الذين خرجوا على أمير المؤمنين علي رضي الله عنه، ثم كان من عواقب ذلك أنهم سفكوا دماء المؤمنين، وفعلوا فيهم ما لم يفعلوا بالمشركين، فقال: ليس الأمر كما قالوا! أو كما ظنوا! إنما هو: كفر دون كفر…”.

“……Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Kekufuran apakah yang dimaksud dalam ayat ini? Apakah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam ataukah tidak? Aku berkata, (kita) harus teliti dalam memahami ayat ini. Dan terkadang yang dimaksud oleh ayat adalah kufur amali, yaitu melakukan beberapa perbuatan yang mengeluarkan pelakunya dari sebagian hukum-hukum Islam.

Pemahaman kita ini didukung oleh Habrul Ummah dan Penafsir al-Qur’an Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin -kecuali kelompok-kelompok sesat- bahwa beliau adalah seorang imam yang tiada bandingnya dalam tafsir al-Qur’an. (dengan penafsiran beliau terhadap ayat ini -pent) seakan-akan beliau ketika itu telah mendengar apa yang kita dengar pada hari ini bahwa di sana ada sekelompok orang yang memahami ayat ini dengan pemahaman yang dangkal tanpa perincian.

Beliau berkata (tentang tafsir ayat ini -pent): “(Kekufuran yang dimaksud -pent) bukan seperti yang kalian duga, bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama”. (Akan tetapi yang dimaksud -pent) adalah kufrun duna kufrin.”

Mungkin yang beliau maksudkan dengan hal itu adalah kaum Khawarij yang memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali radhiyallahu ‘anhu, dan termasuk akibat dari perbuatan mereka adalah tertumpahnya darah kaum mukminin, mereka melakukan perbuatan keji terhadap kaum mukminin yang tidak mereka lakukan kepada kaum musyrikin, maka beliau berkata terhadap mereka, “Bukanlah perkara itu sebagaimana yang mereka katakan dan mereka duga, akan tetapi yang dimaksud adalah kufrun duna kufrin (kekafiran yang tidak mengeluarkan dari islam).”

Samahatusy Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz
(wafat tahun 1420 H)

Beliau berkata dalam surat kabar Asy Syarq Al Ausath nomor 6156 tanggal 12/5/1416, beliau berkata di dalamnya:

اطلعت على الجواب المفيد القيّم الذي تفضل به صاحب الفضيلة الشيخ محمد ناصر الدين الألباني – وفقه الله – المنشور في جريدة “الشرق الأوسط” وصحيفة “المسلمون” الذي أجاب به فضيلته من سأله عن تكفير من حكم بغير ما أنزل الله – من غير تفصيل -، فألفيتها كلمة قيمة قد أصاب فيه الحق، وسلك فيها سبيل المؤمنين، وأوضح – وفقه الله – أنه لا يجوز لأحد من الناس أن يكفر من حكم بغير ما أنزل الله – بمجرد الفعل – من دون أن يعلم أنه استحلّ ذلك بقلبه، واحتج بما جاء في ذلك عن ابن عباس – رضي الله عنهما – وغيره من سلف الأمة. ولا شك أن ما ذكره في جوابه في تفسير قوله تعالى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾، ﴿…الظَّالِمُونَ ﴾، ﴿ …الْفَاسِقُونَ ﴾، هو الصواب، وقد أوضح – وفقه الله – أن الكفر كفران: أكبر وأصغر، كما أن الظلم ظلمان، وهكذا الفسق فسقان: أكبر وأصغر، فمن استحل الحكم بغير ما أنزل الله أو الزنا أو الربا أو غيرهما من المحرمات المجمع على تحريمها فقد كفر كفراً أكبر، ومن فعلها بدون استحلال كان كفره كفراً أصغر وظلمه ظلماً أصغر وهكذا فسقه”.

“Aku telah meneliti jawaban yang sangat bermanfaat yang diberikan oleh shohibul fadlilah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -semoga Allah memberikan taufik padanya- yang beredar pada surat kabar Asy Syarq Al Ausath dan Al Muslimun sebagai jawaban atas seseorang yang telah bertanya kepada beliau tentang pengkafiran terhadap orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah secara mutlak tanpa perincian. Maka aku temukan jawaban yang berharga di dalamnya, sesuai dengan kebenaran dan hal tersebut merupakan jalannya orang-orang mukmin.

Beliau (Syaikh Al Albani -pent) menjelaskan bahwa tidak boleh bagi siapapun mengkafirkan seseorang yang tidak berhukum kepada hukum Allah dengan hanya melihat perbuatannya semata tanpa mengetahui apakah dia menghalalkan perbuatan tersebut dengan hatinya, dan beliau beralasan dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan imam-imam salaf selain beliau.

Dan tidak diragukan lagi, apa yang beliau sebutkan dalam jawaban tentang tafsir firman Allah pada surat Al Maidah ayat 44, 45 dan ayat 47 adalah benar. Beliau telah menjelaskan bahwa kekufuran itu ada 2 jenis, yakni kufur akbar dan asghar demikian pula kezaliman dan kefasikan. Maka barang siapa menghalalkan untuk berhukum dengan hukum selain Allah, menghalalkan zina, riba atau perbuatan-perbuatan yang telah disepakati keharamannya maka sungguh dia telah kafir dengan kekufuran akbar. Akan tetapi barang siapa yang melakukan perbuatan tersebut tanpa menghalalkannya maka kekufuran yang dilakukannya merupakan kekufuran ashghar dan demikian pula kezaliman dan kefasikan yang dia lakukan.”

Faqihuz Zaman, Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
(wafat tahun 1421 H)

Dalam sebuah kaset berjudul At Tahrir fii Mas’alatit Takfir pada tanggal 22/4/1420 beliau ditanya:

إذا ألزم الحاكم الناس بشريعة مخالفة للكتاب والسنة مع اعترافه بأن الحق ما في الكتاب والسنة لكنه يرى إلزام الناس بهذا الشريعة شهوة أو لاعتبارات أخرى، هل يكون بفعله هذا كافراً أم لابد أن يُنظر في اعتقاده في هذه المسألة؟

“Apabila seorang hakim mewajibkan manusia untuk mengikuti aturan yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah padahal dia mengetahui kebenaran adalah segala yang berada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah akan tetapi dia memaksa manusia untuk mengikuti aturan ini karena itulah yang sesuai dengan keinginannya atau pertimbangan yang lain, maka apakah dengan perbuatannya tersebut dia kafir atau harus meneliti keyakinannya dalam masalah tersebut?”

فأجاب: “… أما في ما يتعلق بالحكم بغير ما أنزل الله؛ فهو كما في كتابه العزيز، ينقسم إلى ثلاثة أقسام: كفر، وظلم، وفسق، على حسب الأسباب التي بُني عليها هذا الحكم، فإذا كان الرجل يحكم بغير ما أنزل الله تبعاً لهواه مع علمه أن بأن الحق فيما قضى الله به ؛ فهذا لا يكفر لكنه بين فاسق وظالم، وأما إذا كان يشرع حكماً عاماً تمشي عليه الأمة يرى أن ذلك من المصلحة وقد لبس عليه فيه فلا يكفر أيضاً، لأن كثيراً من الحكام عندهم جهل بعلم الشريعة ويتصل بمن لا يعرف الحكم الشرعي، وهم يرونه عالماً كبيراً، فيحصل بذلك مخالفة، وإذا كان يعلم الشرع ولكنه حكم بهذا أو شرع هذا وجعله دستوراً يمشي الناس عليه؛ نعتقد أنه ظالم في ذلك وللحق الذي جاء في الكتاب والسنة أننا لا نستطيع أن نكفر هذا، وإنما نكفر من يرى أن الحكم بغير ما أنزل الله أولى أن يكون الناس عليه، أو مثل حكم الله عز وجل فإن هذا كافر لأنه يكذب بقول الله تعالى: ﴿ أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ ﴾ وقوله تعالى: ﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾.

Maka beliau menjawab: “Adapun permasalahan yang berkaitan dengan berhukum kepada selain hukum Allah, maka sebagaimana dalam al-Qur’an pelakunya terbagi menjadi 3 jenis, yaitu kafir, zalim, dan fasiktergantung sebab-sebab yang mendasari (perbuatan)nya. Apabila seseorang berhukum kepada selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsunya sedangkan dia mengetahui bahwa kebenaran itu terletak pada putusan Allah, maka dia tidak kafir akan tetapi dia seorang yang fasik atau zalim.

Jika dia membuat suatu aturan umum yang harus dilakukan oleh umat karena dia (hakim -pent) memandang bahwa hal itu termasuk hal yang bermanfaat dikarenakan ada orang yang membuat kerancuan padanya, maka dia tidak kafir, karena sebagian besar penguasa itu bodoh terhadap ilmu syariat dan berhubungan dengan orang-orang yang tidak mengetahui hukum syar’i namun mereka menganggap sebagai seorang yang sangat alim. Oleh karena itu penguasa tadi terjerumus dalam kesalahan.

Apabila penguasa itu mengetahui syariat akan tetapi dia berhukum dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah kemudian menjadikannya pedoman/undang-undang agar manusia melaksanakannya, kami berkeyakinan bahwa dia adalah seorang yang zalim dalam perbuatannya dan zalim terhadap apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sesungguhnya kami tidak mampu untuk mengkafirkan pelaku perbuatan tadi, hanya saja yang kami kafirkan adalah orang yang menganggap manusia itu lebih baik berhukum dengan selain hukum Allah atau menganggap hukum Allah ‘azza wa Jalla itu sama dengan hukum manusia maka dia kafir karena mendustakan firman Allah ta’ala,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?”

Dan firman-Nya:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.”

Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab saudi

الفتوى رقم (6310): س: ما حكم من يتحاكم إلى القوانين الوضعية، وهو يعلم بطلانها، فلا يحاربها، ولا يعمل على إزالتها؟ ج: “الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على رسوله، وآله وصحبه؛ وبعد: الواجب التحاكم إلى كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم عند الاختلاف، قال تعالى: ﴿ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴾، وقال تعالى: ﴿ فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا ﴾. والتحاكم يكون إلى كتاب الله تعالى وإلى سنة الرسول صلى الله عليه وسلم، فإن لم يكن يتحاكم إليها مستحلاً التحاكم إلى غيرهما من القوانين الوضعيه بدافع طمع في مال أو منصب؛ فهو مرتكب معصية، وفاسق فسقاً دون فسق، ولا يخرج من دائرة الإيمان”.

Fatwa nomor 6310:

Soal:

“Apakah hukum seseorang yang meminta untuk dihukumi dengan undang-undang positif padahal dia mengetahui kebatilannya, namun dia tidak memerangi dan tidak berusaha untuk menghapusnya?”

Jawab:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya, wa ba’du.

Wajib bagi setiap muslim untuk meminta dihukumi dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala terjadi perselisihan.

Allah ta’ala berfiman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dan juga Allah ta’ala berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْل

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Maka hanya boleh meminta dihukumi dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila seseorang tidak minta dihukumi dengan keduanya tanpa menganggap boleh karena dorongan rakus harta dan kedudukan, maka dia pelaku kemaksiatan, seorang yang fasik akan tetapi tidak keluar dari keimanan.

Al Allamah Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah

سُئل في المسجد النبوي في درس شرح سنن أبي داود بتاريخ: 16/11/1420 :

هل استبدال الشريعة الإسلامية بالقوانين الوضعية كفر في ذاته؟ أم يحتاج إلى الاستحلال القلبي والاعتقاد بجواز ذلك؟ وهل هناك فرق في الحكم مرة بغير ما أنزل الله، وجعل القوانين تشريعاً عاماً مع اعتقاد عدم جواز ذلك؟

فأجاب: “يبدو أنه لا فرق بين الحكم في مسألة، أو عشرة، أو مئة، أو ألف – أو أقل أو أكثر

– لا فرق؛ ما دام الإنسان يعتبر نفسه أنه مخطئ، وأنه فعل أمراً منكراً، وأنه فعل معصية، وانه خائف من الذنب، فهذا كفر دون كفر.

وأما مع الاستحلال – ولو كان في مسألة واحدة، يستحل فيها الحكم بغير ما أنزل الله، يعتبر نفسه حلالاً-؛ فإنه يكون كافراً “.

Beliau ditanya di Masjid Nabawi pada saat pelajaran Syarah Sunan Abu Dawud tanggal 16/11/1420, “Apakah perbuatan mengganti syariat Islam dengan undang-undang positif merupakan perbuatan kekufuran tanpa melihat orangnya? Atau membutuhkan penghalalan dari hati dan adanya keyakinan bolehnya hal tersebut? Apakah terdapat perbedaan dalam berhukum dengan selain hukum Allah dalam kasus tertentu, dengan menetapkan undang-undang positif sebagai aturan secara umum diiringi keyakinan tidak bolehnya hal tersebut?”

Maka beliau menjawab:

Tidak ada perbedaan seseorang itu berhukum dengan selain hukum Allah sekali, sepuluh kali, seratus kali atau seribu kali, baik kurang dari itu atau lebih banyak dari itu. Selama seseorang menganggap dirinya salah, melakukan perbuatan mungkar dan maksiat serta dia takut akan dosa dari perbuatannya tersebut, maka perbuatannya ini adalah kufur duna kufrin (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pent)

Namun jika diiringi dengan penghalalan, yaitu menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah dan dirinya menganggap hal itu halal maka dia telah kafir (keluar dari Islam -pent) meski dia melakukannya hanya dalam satu kasus.

Segala puji bagi Allah ta’ala.


Sumber: 
https://muslim.or.id/528-ayat-hukum-4.html
https://muslim.or.id/527-ayat-hukum-3.html
https://muslim.or.id/526-ayat-hukum-2.html
https://muslim.or.id/525-ayat-hukum-1.html


Read More