DZIKIR DENGAN ALAT TASBIH
a. Hukum awal menghitung tasbih menggunakan jari jemari
Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata,
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami, “Hendaknya kalian bertasbih (ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis (menyucikan Allah), dan hitunglah dengan ujung jari-jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara (pada hari kiamat), janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3583 dan Abu Daud, no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman dan dishahihkan oleh Imam Adz-Dzahabi. Sanad hadits ini dikatakan hasan oleh Al-Hafizh Abu Thahir)
b. Bertasbih dengan alat tasbih atau alat hitung lain nya
وَعَنْ سَعْدٍ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوىً – أَوْ حَصَىً – تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : (( أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا – أَوْ أفْضَلُ – )) فَقَالَ : (( سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ ، وَالحَمْدُ للهِ مِثْلَ ذَلِكَ ؛ وَلاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلَ ذَلِكَ ، وَلاَ حَولَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلَ ذَلِكَ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) .
Dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu bahwa ia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat seorang wanita dan di hadapannya ada beberapa biji atau beberapa kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbihnya. Beliau pun bersabda, “Tidakkah engkau suka kalau aku beritahukan padamu tentang sesuatu yang lebih mudah untukmu daripada ini—atau lebih utama–?” Selanjutnya beliau bersabda, “Yaitu Mahasuci Allah sebanyak hitungan yang diciptakan oleh-Nya di langit. Mahasuci Allah sebanyak hitungan yang diciptakan oleh-Nya di bumi. Mahasuci Allah sebanyak hitungan yang ada di antara langit dan bumi. Mahasuci Allah sebanyak ciptaan-Nya Yang Dia ciptakan. Allah Mahabesar seperti itu, segala puji hanya bagi Allah seperti itu, tiada Ilah kecuali Allah seperti itu, dan tiada daya serta tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah seperti itu pula.” (HR. Tirmidzi, ia menyatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3568 dan Abu Daud, no. 1500. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa hadits ini dha’if dalam Bahjah An-Nazhirin, 2:463]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi hukum tasbih sebagai berikut:
1- Jika ada kebutuhan untuk menggunakan biji tasbih, maka dibolehkan.
2- Jika untuk memamerkan amalan dan agar disebut orang yang rajin dzikir dengan memamerkan biji tasbih sambil mengalungkan atau memakai gelang di tangan, maka seperti itu diharamkan dan termasuk dalam perbuatan riya’.
Catatan :
1. berdzikir menggunakan tasbih merupakan cara yang tidak disukai generasi salaf, berdasarkan Atsar berikut :
- Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat seorang wanita dari Bani Kulaib yang menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata,”Mana jarimu?”
- Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari Ibrahim berkata:
كَانَ عَبْدُ اللهِ يَكْرَهُ العَدَّ وَيَقُوْلُ أَيَمُنُّ عَلَى اللهِ حَسَنَاتِهِ
Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadaan Allah
2. Berzikir dengan tasbih ulama banjàr menekan lebih kepada tadabur makna dzikir sehingga fokus nya bukan pada jumlah
3. Lebih utama menggunakan jari dari pada alat karena Rasul dan Sahabat lebih menekan kepada hal demikian, hadits riwayat menggunakan jari derajat nya banyak di dhoifkan ulama
Referensi :
rumaysho.com/17269-dalil-bolehnya-berdzikir-dengan-biji-tasbih.html